https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/issue/feed Jurnal Locus Delicti 2025-06-29T15:41:08+08:00 I Dewa Gede Herman Yudiawan, S.H., M.H idewa.gede.hermanyudiawan@undiksha.ac.id Open Journal Systems <p style="text-align: justify;"><strong>Jurnal Locus Delicti (JLD) </strong>is a journal that has a field of legal science. This journal is published by the Law Studies Program, Department of Law and Citizenship, Faculty of Law and Social Sciences, Ganesha Singaraja University of Education, Bali. <strong>Jurnal Locus Delicti (JLD)</strong> is intended for academics, practitioners, and students / the general public who are open to writings in the field of law in the form of research articles and conceptual studies. Areas of manuscripts published in this journal are related to legal research in the field of law: Criminal Law; Civil law; Constitutional law; Administrative Law; International law; Islamic law; Health Law; Environmental law; Labor Law; Customary law; Hindu Law. As well as other current topics in relevant legal fields. <strong>Jurnal Locus Delicti (JLD)</strong> is published every 2 times a year, namely April and October.</p> https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5594 PENGGUNAAN AI TERHADAP OTOMATISASI SENJATA DALAM KONFLIK BERSENJATA: TINJAUAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL 2025-06-29T15:40:58+08:00 Kadek Laksmi Purnama Putri laksmi.purnama@student.undiksha.ac.id <p>Kemajuan kecerdasan buatan (Artificial <br>Intelligence/AI) telah melahirkan Autonomous <br>Weapon Systems (AWS) yang mampu mengambil <br>keputusan tanpa keterlibatan manusia secara <br>langsung. Artikel ini mengkaji penggunaan AWS <br>dalam konflik bersenjata dari perspektif Hukum <br>Humaniter Internasional (HHI), khususnya terkait <br>prinsip proporsionalitas, yaitu keseimbangan antara <br>keuntungan militer dan dampak terhadap warga <br>sipil. Metode yang digunakan adalah kualitatif <br>dengan pendekatan deskriptif normatif, yang <br>mengandalkan bahan hukum primer seperti <br>Konvensi Jenewa 1949, Protokol Tambahan I 1977, <br>dan perjanjian-perjanjian internasional relevan <br>lainnya, serta literatur sekunder dari jurnal dan <br>pendapat ahli. Hasil pembahasan menunjukkan <br>bahwa AWS tidak memiliki kapasitas untuk <br>melakukan penilaian moral atau kontekstual <br>sebagaimana manusia, sehingga sulit menjamin <br>kepatuhan terhadap prinsip proporsionalitas. Studi <br>kasus penggunaan drone Shahed oleh Rusia dalam <br>konflik Ukraina menunjukkan serangan-serangan <br>yang cenderung indiscriminative dan tidak <br>proporsional. Ketiadaan pengawasan manusia secara <br>bermakna “meaningful human control” juga <br>memperbesar risiko pelanggaran HHI. Dengan <br>demikian, penggunaan AWS dalam bentuknya saat <br>ini belum memenuhi standar hukum internasional. <br>Artikel ini merekomendasikan pentingnya <br>pembentukan regulasi internasional yang lebih tegas <br>serta penguatan akuntabilitas dalam penggunaan <br>teknologi militer berbasis AI.</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5593 KEBIJAKAN HUKUM DALAM PEMBANGUNAN GIANT SEA WALL : ANTARA PERLINDUNGAN WILAYAH PESISIR DAN KEPENTINGAN ELIT EKONOMI 2025-06-29T15:41:00+08:00 Putu Widya Pradnya Utami widya.pradnya.utami@student.undiksha.ac.id <p>Indonesia berencana membangun Giant Sea Wall <br>(GSW) untuk mengatasi ancaman kenaikan <br>permukaan air laut dan abrasi. Proyek ini strategis <br>untuk melindungi infrastruktur vital dan beradaptasi <br>dengan perubahan iklim. Namun, GSW memunculkan <br>kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi, seperti kerusakan ekosistem, <br>hilangnya mata pencarian nelayan, dan biaya tinggi. <br>Selain itu, muncul isu potensi dominasi kepentingan <br>elit ekonomi, mempertanyakan transparansi dan <br>akuntabilitas. Artikel ini menganalisis kebijakan <br>hukum yang menyeimbangkan perlindungan pesisir <br>dengan potensi kepentingan elit, serta sejauh mana <br>partisipasi masyarakat diakomodasi. Tujuannya <br>adalah merumuskan rekomendasi kebijakan yang <br>lebih adil dan berkelanjutan bagi semua pemangku <br>kepentingan.&nbsp;</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5592 Kriminalisasi Sewa Rahim di Indonesia : Suatu Perbandingan dengan Amerika Serikat 2025-06-29T15:41:02+08:00 I Putu Sheva Korry Dafila Satria shevapramana@gmail.com <p>Negara Indonesia belum menetapkan peraturan yang <br>jelas dan khusus untuk praktik sewa Rahim <br>(surrogate mother). Secara hukum positif, praktik ini <br>tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan <br>Peraturan Menteri Kesehatan, Peraturan Pemerintah <br>Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan <br>Reproduksi, dan Undang- Undang Nomor 36 Tahun <br>2009 tentang Kesehatan. Praktik reproduksi <br>berbantu hanya dapat dilakukan oleh pasangan <br>suami istri yang sah tanpa melibatkan pihak ketiga <br>seperti ibu pengganti. Prinsip dibalik larangan ini <br>adalah bahwa proses pembuahan dan penanaman <br>embrio harus terjadi dalam tubuh istri biologis <br>sehingga menyewa rahim dianggap melanggar <br>norma sosial dan hukum Indonesia. Meskipun secara <br>implisit dilarang, tidak ada regulasi khusus yang <br>mengatur secara rinci praktik sewa Rahim. Hal ini <br>menciptakan kekaburan hukum dan memungkinkan <br>praktik sewa rahim berlangsung secara tertutup dan <br>tidak terawasi. Kondisi ini juga menimbulkan <br>masalah hukum terkait status anak hasil sewa rahim. <br>Hal ini dapat menyebabkan konflik tentang hak asuh, <br>kewarganegaraan, dan status keperdataan anak <br>karena belum ada kepastian hukum yang mengatur <br>hal ini secara khusus. Studi yang dilakukan di negara<br>negara yang telah melegalkan praktik sewa Rahim <br>seperti Amerika Serikat menunjukkan bahwa sistem <br>hukum yang jelas dan ketat dapat memberikan <br>perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat <br>termasuk orang tua pengganti, ibu pengganti, dan <br>anak yang dilahirkan. Pengembangan undang- <br>undang khusus mengenai sewa rahim di Indonesia <br>menjadi sangat penting untuk mengisi kekosongan <br>hukum, memberikan perlindungan hukum yang <br>memadai, dan mencegah konflik hukum di masa depan. Regulasi ini juga dapat mengurangi risiko <br>praktik ilegal dan memberikan kepastian hukum <br>terkait status anak serta hak dan kewajiban para <br>pihak.</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5599 LEGALITAS PENGGUNAAN CRYPTOCURRENCY SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN DALAM PERSPEKTIF REGULASI HUKUM DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA 2025-06-29T15:41:04+08:00 Alethea Janice Octavian Putri alethea@student.undiksha.ac.id <p>Cryptocurrency merupakan terobosan baru <br>pengembangan adaptasi transaksi dalam <br>perekonomian. Di Indonesia, Cryptocurrency masih <br>menjadi hal baru yang perlu untuk dibahas <br>mengingat sudah banyak masyarakat yang <br>melakukan perubahan pola transaksi ekonomi dan <br>transaksi mata uang non tunai. Penelitian ini <br>bertujuan untuk menganalisis kedudukan <br>cryptocurrency menurut regulasi hukum positif di <br>Indonesia dan perlindungan konsumen atau <br>perlindungan hukum terhadap investor yang <br>melakukan investasi cryptocurrency di Indonesia. <br>Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif <br>dengan menggunakan pendekatan kasus dan <br>pendekatan perundang-undangan. Hasil penelitian <br>ini menunjukan bahwa, kedudukan cryptocurrency <br>di Indonesia berdasarkan hukum positif di Indonesia <br>adalah tidak dapat dijadikan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia sebagaimana <br>diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU No 7 Tahun 2011 <br>tentang Mata Uang. Selanjutnya, perlindungan <br>hukum bagi konsumen atau investor cryptocurrency <br>secara preventif diatur dalam UU Perdagangan dan <br>UU Perlindungan Konsumen, sedangkan dalam <br>kegiatan e-commerce dilindungi oleh UU ITE.&nbsp;</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5600 CEDAW: ADVOKASI KAUM FEMINISME MELAWAN PERAMPASAN HAK-HAK PEREMPUAN OLEH TRADISI ADAT DI NUSA TENGGARA TIMUR 2025-06-29T15:41:06+08:00 Ni Luh Ita Sari ita.sari@student.undiksha.ac.id I Putu Dwika Ariestu iariestu@undiksha.ac.id <p>Convention on the Elimination of All Forms of <br>Discrimination Against Women (CEDAW) menjadi <br>tameng bagi hak-hak perempuan yang tergerus oleh <br>tradisi adat di Nusa Tenggara Timur (NTT), serta <br>bagiamana gerakan feminis daerah menggunakan <br>CEDAW sebagai alat perjuangan. Dengan <br>menggunkan riset hukum normatif dan studi kasus, <br>terungkap bahwa meski Indonesia sudah <br>mengesahkan CEDAW lewat UU No. 7 Tahun 1984, <br>pelaksanaannya di masyarakat masih tersendat, <br>terutama karena kuatnya budaya patriarki dan <br>kurangnya pengetahuan masyarakat tentang aturan <br>hukum internasional. Praktik semacam kawin <br>tangkap dan sistem belis adalah contoh nyata <br>perlakuan tidak adil berdasarkan budaya yang <br>meremehkan perempuan. Akan tetapi, gerakan <br>feminis daerah seperti komunitas Lowewini dan <br>program Water for Women mampu mengartikan <br>nilai-nilai CEDAW ke dalam taktik pembelaan yang <br>berakar pada budaya lokal. Program ini <br>menggalakkan kesadaran gender lewat pendekatan <br>komunitas, melibatkan perempuan dalam putusan <br>penting, serta menghidupkan kembali tradisi seperti <br>Roko Molas Poco yang menjadikan perempuan <br>sebagai lambang kehidupan. Penelitian ini <br>memperlihatkan bahwa kolaborasi antara CEDAW <br>dan gerakan feminis daerah di NTT punya potensi <br>besar dalam menaklukkan rintangan struktural dan <br>budaya demi terpenuhinya hak-hak perempuan.</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti https://ejournal2.undiksha.ac.id/index.php/JLD/article/view/5603 TANTANGAN SISTEM PEMIDANAAN TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 2025-06-29T15:41:08+08:00 Ni Putu Ega Parwati ni.putu.ega.parwati@undiksha.ac.id <p>Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini di Indonesia hanya <br>bertumpu pada sifat pemidanaannya saja tanpa memperhatikan <br>bagaimana dapat merubah si anak tersebut menjadi lebih baik. <br>Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif. <br>Proses Litigasi atau Peradilan Anak secara khusus memang <br>sudah diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 yang <br>mengedepankan sistem diversi. Dalam Proses Litigasi tidak boleh mengurangi hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang <br>dan memperoleh pendidikan. Sistem pemidanaan edukatif bagi <br>anak sebagai pelaku tindak pidana telah diatur dalam Undang<br>Undang Nomor 3 Tahun 1997, terutama terkait dengan sanksi <br>yang dijatuhkan terhadap anak menurut Pasal 24 ayat (1), yakni <br>mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; <br>menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, <br>pembinaan dan latihan kerja; atau menyerahkan kepada <br>Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang <br>bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. <br>Sistem diversi yang diterapkan di Indonesia berbeda dengan <br>Sistem diversi yang diterapkan di luar negeri. Dimana sistem <br>diversi bekerja sama dengan Departemen Sosial. Sesuai <br>UndangUndang No. 12 Tahun 2011 maka diversi harus <br>diutamakan kepada anak agar supaya tidak ada dampak <br>psikologis. Hambatan dalam pelaksanaan sistem pemidanaan <br>edukatif maupun diversi bagi anak, dimana hakim di Indonesia <br>dalam penjatuhan pidana bagi anak yang berhadapan dengan <br>hukum hanya mengacu kepada undang-undang yang diterapkan <br>secara kaku tanpa memperhatikan latar belakang, kepentingan <br>anak, dan dampak psikologis anak terhadap putusan itu serta <br>tanpa mengedepankan keadilan bagi anak.&nbsp;</p> 2024-10-01T00:00:00+08:00 Copyright (c) 2024 Jurnal Locus Delicti